Thursday, October 27, 2016

Benarkah Semua itu Atas Nama KEBUTUHAN?

Karena sebelumnya membicarakan nasi padang, jadilah pas waktu makan siang kepengen dan akhirnya beli mie ayam (huu gak nyambung). Hehehe siapa juga yang harus menuruti rasa ingin saya dan kenyataan yang saya pilih :p
Begitulah, bisa jadi sering kali kita menafsirkan keinginan itu sebagai sebuah kebutuhan. Dan saat tidak mendapatkan apa yang diinginkan berujung dengan merajuk, meratapi kenapa dan kenapa, bahkan menyalahkan ketentuan-Nya.

Sebetulnya ada beberapa poin yang bisa dicermati dari ketidak-sinkron-an antara keinginan dan pilihan yang saya buat.
* saya ingin nasi padang karena tersimulasi pembicaraan sebelumnya yang membahas hal tersebut, hingga akhirnya muncul memori "enaknya makan nasi padang pada siang hari". Dan itu yang memacu rasa ingin makan nasi padang tersebut.
*saat turun angkot, kios yang paling dekat adalah mie ayam. Kios nasi padang harus menyeberangi jalan raya terlebih dahulu. Rasa "ingin" saya tidak begitu kuat untuk sekedar menyeberangi jalan raya. Maka keputusan yang saya ambil adalah singgah ke kios terdekat, seperti yang diberitahukan sebelumnya adalah kios mie ayam.
*bisa jadi sebetulnya sayapun belum memiliki keputusan yang pasti untuk menu makan siang.

Dari semua poin diatas akhirnya terlihat akar masalahnya. Sebetulnya saya lapar karena sudah waktunya makan siang. Dan itulah KEBUTUHAN saya yang perlu dipenuhi. Namun seringkali kebutuhan itu dibalut dengan banyak keinginan, sehingga kita merasa memiliki banyak kebutuhan (yang nyatanya keinginan) dan harus memenuhinya.

Nasi padang dan mie ayam adalah keinginan yang membalut kebutuhan saya akan makanan. Bahkan sebetulnya, jika sedikit bersabar bisa jadi saya akan mendapatkan ayam goreng sebagai menu makan siang dirumah. Namun kembali, seringkali kita membebani diri sendiri dengan berbagai macam keinginan. Misal kita memang memerlukan alat komunikasi, namun seringkali kita merasa tidak puas dengan alat komunikasi yang sudah dipunya karena menginginkan model terbaru, lebih canggih, tampilan bagus dan keinginan lainnya. Contoh lain, kita mengejar tempat kerja yang bayarannya besar dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengesampingkan keberkahan dari rejeki yang kita peroleh. Akhirnya kita melakukan berbagi cara, seperti menyogok untuk dapat masuk di perusahaan tersebut, korupsi waktu, atau perbuatan tercela lainnya. Semua itu sebetulnya bukan bersumber dari memenuhi kebutuhan, tapi lebih tepat memenuhi keinginan. Saat kebutuhan kita makanan sehat, namun keinginan kita makanan yang sekedar enak dilidah. Saat kebutuhan kita adalah kendaraan yang sudah cukup terpenuhi dengan banyaknya angkutan fasilitas umum, namun keinginan kita untuk memiliki kendaraan pribadi. Saat kebutuhan kita pakaian untuk menutupi aurat yang bersih dan rapi, namun keinginan kita berbusana yang anggun, modis baru dan terkini. Semua berujung banyaknya keinginan kita yang mengatasnamakan kebutuhan, sehingga akhirnya Bisa jadi hal yang benar - benar kita butuhkan itu terlupakan posisinya.

Semua bermula dari besarnya rasa sukur terhadap apa yang sudah kita terima. Karena sesungguhnya Allah sudah mencukupi KEBUTUHAN kita. Namun seringkali kitalah yang tergoda dengan nafsu akan keinginan ini itu.