Friday, July 7, 2017

Kisah dari Bantal Kapuk Apek menjadi New Bantal Kapuk

Terlahir di era 90an awal memang merupakan berkah tersendiri. Dimana masa-masa transisi perubahan jaman terlihat nampak jelas. Saat berkirim surat dengan sahabat pena pernah booming sebelum berganti media elektronik handphone dengan segala kecanggihannya dalam mempermudah berkirim pesan bahkan dengan pemberitahuan sudah atau belum nya pesan tersebut di terima. Belum lagi segala macam permainan yang melibatkan benda disekitar yang seiring waktu terganti dengan segala olahan plastik atau cukup puas dengan permainan dibalik tampilan layar.

Bukan hanya itu, segala "kesulitan" pada era tersebut untuk mendapatkan barang atau sesuatu yang diinginkan secara tidak langsung membuat diri lebih apik ketika berhasil memperolehnya dan memilih membetulkan saat sudah mulai rusak. Seperti cerita bantal saya ini. Bantal itu hanya bantal kapuk. Ya BANTAL KAPUK (bantal saat ini biasanya diisi dengan busa, bulu unggas atau dakron). Bantal itu pun bukan bantal bersejarah seperti anak-anak yang tidak bisa lepas dari bantal/selimut/guling dia dari semasa kecil yang sudah tidak jelas bentuk, aroma dan penampakannya. Bantal itu bantal biasa yang sarungnya sudah banyak membentuk pulau dengan artistik, sudah mulai keras karena jarang dijemur dan yang utama sudah mulai menganggu karena beraroma (oke, itu semua ulah saya selama berinteraksi langsung dengannya).

Sebagai orang yang kekinian (iyakaahhh..), pikiran awal yang terlintas adalah saatnya ganti bantal, tentu dengan membeli bantal baru. Apalagi melihat bantal kapuk itu sudah tidak setipe sebetulnya dengan kasur dan guling yang selama ini menjadi rekanan dalam memanjakan malam hari saya. Baiklah, fix kita buang ini bantal (biasanya karena tenaga pembersih tidak mau membawa sampah seperti selain sampah dapur, jadilah pilihannya dibakar).

Menunggu matahari meninggi agar bantal itu langsung habis terbakar, sudahlah yaa beres-beres rumah dulu. Bongkar ini itu, lap ini itu, keluar masukkan barang ini itu. Dan seperti diketahui, setiap bongkar-bongkar selalu saja menemukan barang yang tidak terduga. Ya ya ya, saya menemukan bahan yang sepertinya sama dengan bahan yang membungkus kapuk tersebut. AHA.. sisa jiwa era 90an kembali muncul ke permukaan. Dengan mesin jahit portabel yang teronggok di pojokan rak karena kebosanan pemilik nya (oke itu saya lagi), dengan membentuk jahitan lurus dan menyiku di setiap sudutnya (sambil menyisakan sedikit bagian untuk memasukan isi) mari kita mulai berkarya.

Masker mana masker? Ready, di lanjut menggunting sarung yang sudah penuh dengan karya seni, menggemburkan, lalu memindahkan isinya ke sarung yang baru dijahit (dalam kondisi harum semriwing pewangi pakaian dan belum terkontaminasi dengan liur kering combo keringat yang bereaksi dengan angin), done. Sudah pindah semua isinya, lalu jahit kembali bagian untuk memasukan kapuk untuk menutup maka sempurnalah rangkaian kanibalisasi  benda bernama bantal tersebut menjadi new bantal.

Bantal baru dengan citarasa lembutnya kapuk didalamnya itu bisa hadir karena rasa memperbaiki hal yang masih bisa diperbaiki tersebut.

Seringnya kita saat ini dengan segala kemudahan yang ditawarkan sekitar, saat melihat sesuatu yang "sedikit" rusak, lintasan pikiran akan terpusat untuk segera mengganti dengan yang baru, dengan yang lebih bagus dengan mengukur kualitas dari harga yang tidak segan untuk dikeluarkan. Kita lupa untuk melihat kembali apakah segala hal baru itu memang kita butuhkan, apakah segala yang lama dan sudah ada kerusakan karena sudah menemani kita dalam mudahkan urusan kita selama ini sudah betul-betul tidak bisa diusahakan untuk di pertahankan. Semua itu bukan sekedar konsep berhemat yang di terapkan, tapi ada hal lain yang lebih bermakna. Yaitu menghargai setiap apa-apa yang sudah membersamai kita.