Melihat kekosongan didalam pantulan matanya, membuat teh seduhan ini terasa cepat mendingin. Ah, sebuah tema percakapan yang kurang tepat. Harusnya cukup dengan menanyakan alasan kenapa pohon talok disamping rumah di tebang atau memuji teras depan yang baru selesai dipasang pagar pasti akan lebih menggugahnya dalam bercerita dengan tatapan yang bersemangat. Dengan gerak tubuh yang dibuat seolah berwibawa seperti yang biasa saya tampilkan dihadapannya, dan menggeser posisi duduk, gelas itu pun saya taruh kembali.
"Ada apa?", tanya saya seolah mengabaikan kisah sebelumnya. Karena saya tau. Yang dia butuhkan adalah mengeluarkan isi kepala dan membiarkan lidahnya memacu deretan kalimat yang sudah menjejali mulut untuk di muntahkan.
"Tidak apa-apa. Hanya tidak habis pikir dengan polahnya. Ini adalah moment keluarga, kamu tau itu. Karenanya kamupun diterbangkan untuk kesini. Tapi dia..", kalimatnya terhenti disana. Dari kekosongan, matanya berubah menjadi berkaca saat mengawali kisahnya.
.
Beberapa hari yang lalu memang ada pesan singkat masuk ke jaringan pribadi saya.
"Teh, lagi dimana? Kapan ada dirumah?", Sebuah sapaan basa basi mengawali percakapan kami.
"Lagi diluar. Ada apa?"
"Saya perlu bicara. Nanti saya telepon ya."
"Mungkin larut baru sampai rumah. Sekarang sedang berisik juga disini. Jika mendesak voice note saja." Saran saya karena pada saat itu memang tidak memungkinkan untuk menerima panggilan.
"Yaudah nanti klo sampai rumah, kabari saja", ujarnya memaksa untuk berbicara langsung.
Waktu beranjak malam dan saya belum ada tanda-tanda akan kembali kerumah. Karenanya, dengan mencari tempat yang agak sepi, saya pun menghubunginya untuk menanyakan apa yang ingin disampaikan siang tadi.
"Sudah pulang teh?" Katanya.
"Belum, tapi sudah bisa melakukan panggilan. Jadi ada apa?" Tanya saya penasaran.
"Jadi begini, pekan depan kerumah ya. Mau pada kumpul nyambut tamu. Ini perawan udah dateng jodohnya. Nanti mau serah uang. Kamu harus hadir nyaksiin." Katanya dengan nada antusias.
"Alhamdulillah. Siap. Kirain mau membicarakan apa. Tapi saya cukup terkejut sih. Karena baru bulan lalu saya lihat status media sosialnya menceritakan patah hatinya. Eeh, selang sebulan sudah terobati dengan obat mujarab. InsyaAllah saya akan datang", tutup saya mengakhiri sambungan telepon tersebut.
.
Di hari yang seharusnya berbahagia ini, tidak habis pikir kenapa nanar itu hinggap di wajahnya.
"Udah tau adenya mau serah uang. Dia malah belum dateng. Diarep-arep dari kemarin. Biar bisa kompromi baiknya gimana buat nyambut calon besan. Ini mah mana. Sampe sekarang aja belum keliatan itu batang idungnya", deras kalimat keluar. "Kamu aja udah ada di sini. Enggak bisa diandelin banget emang punya anak teh." Lanjutnya lagi.
"Padahal mah, orang tua engga pengen apa-apa. Cuma pengen ngumpul. Kalo adenya udah nikah dan entar tinggal sama lakinya, kan bakalan susah buat kumpulnya. Ini sibuk terus alesannya. Emang bakalan jadi orang kaya apah kalo udah sibuk kayak gitu."
Sambil mendengarkan keluh kesahnya, tangan saya mengambil kue cucur dari piring saji. Kue tradisional itu memang menggoda untuk sekedar di tatap. Sudah semestinya dia dilahap. Bukan mengabaikan atau berlaku tidak sopan, tapi mendiamkan apa yang tersuguh akan membuat peluang untuk Gadmika mencecar dengan kalimat "ini dimakan, cobain, jangan diantepin aja". Kalimat perintah yang merubah fokus dari rangkaian ceritanya.
Dan hari pun beranjak berisi kalimat-kalimat harapan Gadmika. Apa? Kamu mau tau apa saja harapannya. Tidak perlu lah. Jika penasaran, kamu bisa bertanya pada temanmu tentang harapan ibu, emak, enyak, mamah, ummi mereka. Semua akan memberikan jawaban yang sama dengan Gadmika. Karena kamu sudah menyiakan kesempatan itu, silakan tanya langsung ke orangnya. Toh di tengah kekecewaannya terhadap dirimu, saya tidak habis pikir seluas itu juga pemakluman dari semua sikapmu. Bakan melakukan pembelaan saat saya mencoba merendahkanmu. Fuh dasar sayang orang tua kepada anak. Untung saya sudah terlatih menghadapi situasi ini. Keadaan Gadmika yang memiliki keluasan pemakluman tersebut. Hingga, ditengah nanarnya dia, tidak terpancing untuk tetap bisa menikmati kue cucur dan teh panas.
Dan untukmu, sudahlah. Bukan saatnya saya menceramahimu tentang harapan-harapan Gadmika. Berhubung calon besan sudah datang, mungkin dikesempatan lain saya akan menemanimu menikmati kopi hangat dan menjembatani perasaan Gadmika.
#bersambung #fiksimini